“Budidaya belut ini memang berisiko tinggi, tapi kita tidak menyerah karena prospeknya luar biasa bagus,” ujar Kismanto, petani belut. Warga Dusun Nongkopahit, Dusun Joho Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, ini mulai mengembangkan belut sejak tujuh bulan lalu. Awalnya, ia berencana mengembangkan lele. Namun apa daya suhu air di kolamnya terlalu dingin. “Benih lele yang baru menetas mati semua, kolam jadi nganggur tidak dipakai,” paparnya.
Di Kediri hanya ada satu pemasok belut dan pasokannya sangat kurang sehingga jadilah Kismanto dan Effendi, anaknya, menjadi petani belut. Awalnya, ia memperoleh benih dari pasar dengan harga Rp17.000/kg. Sayangnya, “Hasilnya juga tidak terlalu bagus karena belut kebanyakan hasil tangkapan di sawah dengan cara disetrum. Jadi, banyak yang mati dan kurang sehat,” lanjut Kismanto.
Pakai Media Tumpuk
Kendala tersebut tidak menyurutkan langkah Kismanto dan Effendi untuk mengembangkan belut. Harga belut konsumsi saat ini sekitar Rp17.000/kg dan berubah sesuai musim. Saat penghujan, banyak belut tangkapan dari sawah sehingga harganya turun. Sebaliknya sewaktu kemarau harga bisa naik, “Pemasok mau terima berapa pun jumlahnya,” ujar Kismanto.
Bermodal awal Rp2,5 juta, ia membuat kolam berukuran 2 x 3 m2 sebanyak tiga petak. Kolam berkedalaman 80 cm itu kemudian ditebari kotoran sapi, jerami, dan tanah serta benih belut sebanyak 10 kg. Karena belum mengerti cara pemeliharaannya, cuma dengar-dengar dari televisi, belutnya banyak yang mati. Akhirnya, ia membeli buku budidaya belut dan mempelajari caranya.
Sebelum melepas benih, ia harus menyiapkan media berupa tanah, kotoran sapi kering, tanah, dan kompos. Semua bahan dimasukkan ke dalam kolam berdasar ubin itu secara bertahap, masing-masing setinggi 10 cm. Setelah tumpukan media mulai memadat, ia memasukkan tanah dan jerami setinggi 10 cm. Selanjutnya, tumpukan media belut diberi tanah setinggi 20 cm, cacahan batang pisang, dan dialiri air. Setelah dua minggu, media ini siap ditebari benih.
“Dalam waktu 15 hari, media mengeluarkan bahan makanan yang merupakan pakan alami belut, seperti cacing merah, jentik nyamuk, dan binatang lain kecil seperti merutu yang terbang di atas air,” ungkap Kismanto. Berdasarkan pengalamannya, belut yang ditebar ke dalam media yang belum berproses sempurna akan langsung naik ke permukaan. Sebaliknya, jika media telah siap menghasilkan pakan alami, belut langsung masuk dan tenggelam di dalam media.
Kismanto juga menjelaskan, benih belut terbaik berasal dari Solo yang harganya mencapai Rp30.000/kg. “Ukuran benihnya seragam, sekitar 5—6 cm. Selain itu, sudah bisa makan pellet lele karena belum ada pellet khusus belut,” lanjutnya. Benih belut juga diberi pakan tambahan berupa anak kodok, ketam, dan bekicot yang dicacah. Dalam waktu 4 bulan, belut yang sudah berukuran 30—35 cm dapat dipanen.
Benih dan Indukan
Nun jauh dari Kediri, yaitu di wilayah Jasinga, Bogor, Jabar, Novi, juga mengadu peruntungannya di bisnis belut. Berbeda dengan Kismanto yang mengusahakan belut konsumsi, Novi lebih tertarik di usaha pembenihan dan pengadaan calon induk belut. Alasannya, “Sampai saat ini belum banyak yang mengusahakan benih dari budidaya. Kebanyakan hasil tangkapan alam.”
Masih menurut Novi, dalam waktu 1,5—2 bulan, larva belut yang dipijahkan secara buatan dapat mencapai ukuran 50—100 ekor/kg atau berbobot 10—20 gram/ekor. Benih berukuran 5—8 cm tersebut dapat segera dipelihara dalam kolam pendederan selama 4 bulan untuk mencapai ukuran konsumsi
Selain benih, Novi juga memproduksi calon induk belut. Di Jasinga Green Farm, miliknya, satu set calon induk yang terdiri dari seekor belut jantan dan tiga ekor belut betina dihargai Rp150.000. “Dalam sebulan saya dapat menghasilkan sekitar 50 set,” ujar Novi menutup pembicaraan
No comments:
Post a Comment