Polarisasi SMI-Bakrie adalah Hujan di Hari Panas
oleh Wimar Witoelar
Kita ketahui bahwa SMI mengungkapkan pada harian The Wall Street Journal, tekanan terhadap dirinya dari Golkar yang menjalar pada masyarakat awam berpangkal pada ketidaksenangan Bakrie terhadap kebijaksanaan Menteri Keuangan.Versi online suatu grup berita nasional menduga ada empat kasus yang menjadi sumber friksi antara Bakrie dan Menteri Keuangan tersebut.Pertama,Menteri Keuangan mencabut penghentian sementara perdagangan saham PT Bumi Resources Tbk pada 7 Oktober 2008.
Menyusul kemudian dilakukan pencekalan terhadap sejumlah petinggi Bakrie yang terkait masalah. Hal ketiga yang membuat Bakrie kurang senang adalah anggapan Menteri Keuangan bahwa semburan lumpur menuntut tanggung jawab Bakrie selaku pemilik Lapindo. Berkaitan dengan itu, ada penolakan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) terhadap sejumlah petinggi perusahaan batu bara Bakrie. Penolakan Bapepam-LK terhadap PT Energi Mega Persada, unit usaha grup Bakrie yang memiliki Lapindo, untuk mengalihkan sahamnya ke pihak lain. Terakhir ialah penolakan pemerintah atas keinginan Bakrie membeli saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara. Sebagai Menko Perekonomian saat itu,Sri Mulyani meminta agar seluruh saham divestasi Newmont dibeli oleh perusahaan negara atas nama rakyat. Namun, setelah Menko Perekonomian diganti, akhirnya Bakrie bisa beli saham Newmont. Pihak Bakrie mengalihkan perhatian dari tuduhan kepada isu rekaman percakapan SMI dengan Robert Tantular.Namun, Departemen Keuangan langsung membantah ada rekaman sebagaimana diungkapkan anggota Panitia Angket Bank Century DPR. Bambang Soesatyo, anggota DPR dari Golkar mengaku memiliki bukti rekaman percakapan antara Menkeu Sri Mulyani dan pemilik Bank Century saat itu Robert Tantular.
Keterangan SMI sederhana, dia tidak pernah bicara dengan Robert Tantular, malahan tidak kenal.Menarik juga bagaimana Golkar bisa punya rekaman percakapan yang tidak pernah terjadi. Dalam perkembangan terpisah, Direktorat Jenderal Pajak mengungkapkan, penelusuran dugaan pidana pajak tiga perusahaan tambang batu bara di bawah payung bisnis Grup Bakrie senilai kurang lebih Rp2 triliun. Tiga perusahaan tambang itu antara lain PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Bumi Resources Tbk (BR), dan PT Arutmin Indonesia.
Ketiganya diduga melanggar Pasal 39 Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan atau terindikasi tak melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan secara benar.Wajar kalau orang mengira pengumuman ini dilakukan untuk mendukung SMI. Namun, Dirjen Pajak menyatakan, tak ada perintah khusus dari Menteri Keuangan dalam menangani kasus pajak Grup Bakrie. “DJP (Direktorat Jenderal Pajak) itu bukan alat politik.DJP itu bekerja secara profesional melaksanakan undang-undang,”ungkapnya. Semua ini terjadi setelah SMI secara berani menyebut nama Bakrie secara terbuka sebagai sumber penekanan terhadap Menteri Keuangan.
Banyak yang mencela ucapan Sri Mulyani. Katanya tidak sopan, memanaskan keadaan, menyulitkan SBY,bahkan ada yang menganjurkan agar SMI damai saja dengan Bakrie. SMI menegaskan, dia tidak pernah membantah artikel The Wall Street Journal itu. Sedangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan tidak akan terganggu oleh isu retaknya hubungan antara Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. “Presiden tidak akan terganggu dengan hal-hal kecil,” kata juru bicara kepresidenan Julian Aldrin Pasha. Dalam kesempatan lain Presiden sering menyatakan bahwa keputusan bailoutadalah tepat.
Kita tidak tahu apakah SMI berpikir jauh mengenai akibat pernyataan tunjuk hidung itu. Dia bukan seorang politikus dan bukan orang yang terlalu memikirkan posisi dan jabatan. SMI adalah seorang profesional tulen, seorang yang sederhana dalam etika publik. Seperti Mimi yang sederhana dalam opera “La Boheme”, SMI sering mengatakan, “Saya hanya orang yang menjalankan undangundang.” Kalau ada yang melanggar UU dan peraturan,dia melakukan tindakan sebagai menteri karena itu kewajibannya. Tidak ada kebencian terhadap orang tertentu dan tidak ada fasilitas khusus yang diberikan kepada kawan-kawannya.
Sebaliknya Aburizal Bakrie adalah orang yang kompleks berskala besar. Perusahaannya memberi pekerjaan pada puluhan ribu orang, penghasilannya besar, permasalahannya besar. Seorang pengusaha ulet yang melanjutkan kekayaan bapaknya menjadi konglomerat modern. Dia juga masuk dalam politik dan pemerintah. Pada waktu dia masuk Kabinet 2004-2009, dia menjadi orang terkaya di Indonesia, setelah dilanda utang dan menitipkan diri pada pemerintah lepas krisis moneter 1998. Sekarang dia menjadi ketua umum partai yang pernah menguasai seluruh politik Indonesia. Aburizal Bakrie punya banyak pendukung.
Demonstran yang berteriak anti-bailout banyak memuja dia walaupun Bakrie setuju bailout dan sering memintanya. Orang yang antineolib mendukung Golkar walaupun ketua umumnya adalah contoh sukses sistem neolib. Jadi kalau harus memilih antara SMI dan Bakrie, pilihannya jelas. Tiap orang punya selera masing-masing dan dalam alam demokrasi sekarang, kita punya pilihan bebas. Kita punya suara, kalau media memberikan tempat. Kalau tidak, kita punya blog dan Facebook. Menarik, kalau kekisruhan masyarakat disederhanakan menjadi pilihan antara dua kutub. Ini perkembangan yang sehat, mencuri kejernihan dari kerancuan.
Sudah terlalu lama kita membiarkan orang bersikap kasar sampai menendang-nendang gambar pejabat negara yang tidak bersalah, mencaci maki kebijaksanaan yang tidak dimengerti. Perbedaan antara SMI dan Aburizal Bakrie mengembalikan perspektif kita pada pilihan sederhana dan murni. Tanpa mengubur masalah dalam penjelasan panjang-panjang, kita ramai-ramai dan sendiri-sendiri melakukan pilihan sendiri: SMI atau Bakrie?
Polarisasi SMI-Bakrie adalah hujan di hari panas.Mudahmudahan hujan yang menyiramkan air penyejuk pada kita semua akan cepat mengakhiri kerusuhan yang dibuat-buat demi kepentingan politik dan harta.(*)
sumber : koran SINDO
12 December 2009
12 December 2009
No comments:
Post a Comment