Mencuri Kejernihan dari Kerancuan Bank Century
Wawancara Radio Jaleswari Pramodhawardani dengan Wimar Witoelar
..jadi Sri Mulyani Indrawati dan Boediono tidak bisa dipidanakan kecuali sistem hukumnya sudah begitu dirusak oleh orang yang mempunyai dendam politik. Dendam politiknya mungkin bukan terhadap Boediono, tapi terhadap kekalahan mereka di Pemilu, dan juga dendam terhadap Sri Mulyani Indrawati yang sangat efektif menghapus orang-orang korupsi di Departemen Keuangan sehingga dia sampai mendapatkan penghargaan anti korupsi Bung Hatta Awards. Kalau orang melakukan pembersihan maka ada yang dibersihkan.
Saya suka sekali dengan kutipan Wimar Witoelar "Mencuri Kejernihan dari Kerancuan". Sekarang kita ingin mencuri kejernihan dari kerancuan pemberitaan Bank Century yang sudah menjadi wacana publik demikian lama. Kita tidak akan membicarakan soal detail teknisnya. Saya dan Bung Wimar akan berbincang-bincang tentang bagaimana komunikasi ini kemudian menggelinding dan menjadi wacana publik yang ditangkap begitu berbeda-beda di publik.
Beberapa poin penting untuk bisa memahami kasus Bank Century secara jernih adalah
- Bank Century dilanda krisis karena penjarahan bank oleh pemiliknya yaitu Robert Tantular yang sekarang sudah ditangkap dan sedang diadili karena mencuri uang nasabah Bank Century dan mengacaukan bank tersebut.
- Uang Rp 6,7 triliun untuk menyelamatkan Bank Century bukan uang negara tapi uang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan pemilik mayoritas dari LPS adalah bank-bank yang membayar premi.
- Kebijakan penyelamatan (bailout) Bank Century adalah tepat. Ibarat, ada rumah yang terbakar di tengah perkampungan padat pada saat musim kemarau. Kalau kita tidak menyelamatkan rumah tersebut maka kebakaran itu bisa merembet ke rumah lain karena terjadi di musim kemarau sehingga bisa cepat menyebar. Jadi, suatu bank yang ambruk di masa krisis ekonomi (musim kemarau) akan mudah menular ke bank lain.
- Sesudah LPS mengambil alih, sekarang Bank Century yang bernama Bank Mutiara adalah bank yang sehat. Ia memiliki solvabilitas yang tinggi, liquidity yang baik, dan capital asset ratio (CAR) di atas 8%.
- Isu yang seharusnya dikejar dalam persoalan Bank Century adalah mengejar orang yang menjarah uang Bank Century yaitu Robert Tantular yang membuat bank tersebut sampai krisis. Uang tersebut mencapai sekitar 4 triliun. Jadi kemana uang itu, dibagi dengan siapa, Itu yang lebih riil.
Berikut wawancara Jaleswari Pramodhawardani dengan Wimar Witoelar.
Apa sebetulnya yang menjadi silang sengkarut persoalan Bank Century sehingga ini kemudian menjadi bola yang menggelinding kemana-mana dan opini publik terbelah dua?
Sebetulnya, awalnya saya bagian dari publik yang Anda maksudkan, yaitu publik yang tidak mengerti soal Bank Century sehingga meledak menjadi satu soal yang dibicarakan semua orang. Setelah itu saya memaksakan diri untuk mengerti dan syukur alhamdulillah mendapat banyak masukan dari kiri-kanan. Mengapa saya tidak mengerti walaupun saya juga cukup tahu soal ekonomi dan sebagainya? Itu karena sebetulnya Bank Century lebih dari persoalan ekonomi. Persoalan Bank Century merupakan persoalan perbankan dan manajemen krisis moneter. Dua hal yang memerlukan pendidikan spesialis. Jadi jika tidak mengetahui bukan karena orang itu bodoh tapi memang memerlukan pengetahuan khusus. Sebetulnya yang bisa langsung menanggapi masalah Bank Century adalah orang dari kalangan perbankan dan moneter. Namun yang bicara mengenai krisis ini justru bukan orang-orang dari dua kalangan tersebut.
Saya punya contoh, banyak orang berteriak-teriak bahwa uang negara Rp 6,7 triliun habis dipakai untuk menyelamatkan Bank Century. Padahal Rp 6,7 triliun itu bukan uang negara tapi uang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan pemilik mayoritas dari LPS adalah bank-bank yang membayar premi. Jadi kalau pun ada orang yang mau mengeluhkan mengenai uang Rp 6,7 triliun itu seharusnya orang Bank. Kemarin saya bertemu Ketua Umum Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono. Dia mengatakan pihaknya senang sekali uangnya dipakai untuk bailout Bank Century. Kalau tidak dipakai untuk bailout maka bank-bank kita akan ambruk. Jadi orang tidak pernah tahu tentang Perbanas, dan hanya mengetahuinya itu adalah uang rakyat. Itu sampai terjadi salah kaprah karena, satu, orang sangat mudah bicara di media sosial seperti facebook, twitter dan blog. Itu bagus tapi kalau sudah bicara mengenai hal yang tidak mengerti akan merepotkan. Contohnya, orang melihat saya berjalan susah maka langsung dikatakan karena kegemukan. Padahal dia bukan ahli penyakit syaraf. Kedua, ada yang secara sengaja memanfaatkan ketidaktahuan itu untuk bisa mendukung tujuan politiknya. Kalau ada dua sisi yang sangat keras maka itu adalah masalah politik. Kalau masalah moneter tidak usah emosi, seperti berteriak-teriak dengan menendang-nendang gambar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Wakil Presiden Boediono.
Saya tertarik dengan yang Anda katakan tadi bahwa sebetulnya banyak orang tidak paham dengan substansi persoalan Bank Century. Ini kemudian ditangkap dan digelindingkan sehingga menjadi dipolitisasi dan segala macamnya. Bagaimana kita menangkap cerita atau kasus Bank Century karena kebetulan kasus ini dibenturkan antara rakyat dengan penguasa, antara kesewenang-wenangan dengan penderitaan rakyat kemudian menjadi isu yang sangat populis?
Kalau perasaan keadilan mengenai rakyat versus kekuasaan, saya kira harus dilanjutkan dan jangan dimatikan tapi harus diterapkan secara benar. Kalau tidak secara benar akan membuat tujuan kesejahteraan rakyat makin jauh. Dalam hal ini, bank ada untuk membantu kesejahteraan rakyat. Adanya bank membuat petani bisa membeli pupuk, orang bisa naik bis kota dan sebagainya. Banyak orang tidak mengerti apa itu bank, dan apa itu krisis perbankan dan moneter. Sebetulnya, pada waktu itu Bank Century dilanda krisis karena penjarahan bank oleh pemiliknya. Pemilik bank hanya memegang sebagian kecil uang di bank tersebut mungkin di bawah delapan persen, tapi sebagian besar adalah uang deposan atau nasabah. Pemilik bank itu bernama Robert Tantular, yang sekarang sudah ditangkap dan sedang diadili karena mencuri uang nasabah Bank Century dan juga mengacaukan bank tersebut.
Ibaratnya, Bank Century seperti rumah yang terbakar. Pada waktu itu situasinya adalah ada rumah kebakaran karena dibakar oleh pemiliknya yang kebetulan maling. Kalau ada rumah kebakaran maka pilihannya dua, yaitu apinya dimatikan atau dibiarkan mungkin karena rumah itu bukan milik kita. Namun jika rumah yang kebakaran ada di tengah perkampungan maka jika rumah tidak kita selamatkan maka kebakaran itu bisa merembet ke rumah lain. Apa pasti merembet atau tidak? Kita tidak tahu, tapi ada satu keadaan dimana penjalaran hampir pasti. Kalau kita melihat kebakaran perkampungan yang terjadi di musim kemarau maka akan cepat menyebar, seperti kebakaran di hutan Australia atau California, AS yang terjadi pada masa kering. Jadi ada masa-masa dimana kebakaran mudah menjalar. Nah untuk bank yang ambruk di masa krisis ekonomi maka akan mudah menjalar. Secara sederhana, bank merupakan tempat menyimpan uang orang, dan suatu bank berhubungan dengan bank lain. Bank A pinjam dari bank B, lalu disimpan di bank C. Kalau satu bank terbakar, bank lain yang uangnya ada di bank yang terbakar menjadi tidak memiliki uang. Selain itu, orang yang punya simpanan di bank lain melihat ada bank yang dibiarkan mati, maka akan menarik uangnya. Itu terjadi pada 1998 di Indonesia, dan di Amerika pada 2008. Pada saat krisis ekonomi moneter maka orang menjadi gelisah. Begitu ada tanda-tanda satu bank goyang, orang akan menarik uangnya lalu menaruh di luar negeri. Keadaan pada Oktober 2008 seperti demikian. Bank Century goyang, nilai tukar rupiah naik menjadi Rp 12.000 per dolar AS, dan cadangan devisa turun. Bagi awam seperti saya dan Anda, kondisi tersebut tidak terasa. Namun bagi manajer suatu bank kondisi pada Oktober 2008 membuat dia tidak bisa tidur. Bank pemerintah yang besar-besar seperti BRI, BNI kalau melihat Bank Century yang uangnya kira-kira Rp 5 trilyun ambruk akan berpikiran berupa jangan-jangan uangnya yang di situ tidak selamat. Namun orang panik. Ia ambil uangnya lalu menaruh uangnya di luar negeri atau membeli emas dan lain-lain.
Suasana panik itu terjadi di masa krisis. Perlu tangan yang kuat untuk melakukan tindakan. Nah itu yang dilakukan oleh Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang dipimpin Menteri Keuangan dan Gubernur BI dengan masuk dan mengambil alih masalah dan manajemennya dari Robert Tantular dan kawan-kawan. KKSK kemudian menempatkan masalah itu dibawah pengawasan LPS. Orang suka tidak tahu kapan ia untung. Orang tahunya hanya tenang-tenang saja, bank tidak jatuh. Ia tidak tahu kalau perbankan dibiarkan jatuh maka ekonomi bisa jatuh, kita ini tidak akan bisa berada di sini sekarang, kredit bisa macet, simpanan akan hilang. Hal ini pernah terjadi pada 1998.
Kita selalu menunjuk kepada pengalaman krisis 1998, apakah ada perbedaan situasi krisis 1998 dengan Oktober 2008?
Beda. Krisis pada 1998 berasal dari Asia. Kejadiannya berawal dari Thailand, Malaysia ke Indonesia. Sedangkan krisis pada 2008 berasal dari Amerika menyebar ke Eropa dan berbagai negara. Itu perbedaannya. Perbedaan lainnya, Indonesia sudah belajar dari pengalaman jelek krisis 1998. Jadi mulai tahun 2000 melakukan reformasi ekonomi. Kita ingat ada Dewan Ekonomi Nasional yang anggotanya antara lain Sri Mulyani Indrawati, Kuntoro Mangkusubroto, Boediono, Emil Salim. Walaupun pemerintahannya berganti-ganti tapi teknokrat ekonominya kira-kira sama. Jadi sejak 1998 sampai tahun ini sektor moneter sudah lebih aman. Kejadian krisis yang dulu memang ekonomi kita ambruk. Tapi karena kejadiannya pada 2008 dan juga politiknya yang stabil karena belum ada pemilihan presiden 2009. Sekarang ributnya karena politik, karena Pemilu sudah selesai tapi masih ada yang penasaran.
Jadi Anda melihat persolan Bank Century lebih kental dengan nuansa politik ketimbang substansi persoalan itu sendiri?
Sangat, masalahnya ini tidak ada substansi. Kesatu, bailout itu terjadi tahun lalu dimana semua pihak setuju. Jusuf Kalla tidak setuju tapi ia terima juga, ia tidak secara resmi menentang. Para ekonom yang sekarang menentang dulu setuju. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang sekarang mengatakan kurang bagus, dulu setuju adanya talangan uang LPS ke Bank Century. Memang BPK berbeda yang dulu dengan sekarang, dulu orang baik sedangkan sekarang sudah ganti.
Kasus Bank Century mungkin nuansanya agak sedikit berbeda, seperti Anda katakan tadi bahwa ini sangat kental dengan nuansa politiknya. Apalagi sekarang juga disebut Sri Mulyani Indrawati dan Boediono harus turun. Terlepas dari kedua nama itu, apakah Anda melihat bailout merupakan solusi terbaik untuk kasus Century ini?
Untuk orang yang menghamburkan isu, maka Sri Mulyani Indrawati dan Boediono turun merupakan tujuan yang mereka cari. Jadi kalau kedua orang itu turun, mereka akan tenang dan menduduki posisi itu. Pasti ada orang yang ingin menggantikan Boediono dan Sri Mulyani Indrawati. Bagi orang lain itu sama sekali bukan solusi. Kami mendengar dari otoritas Bursa Efek Indonesia kemarin, kalau Sri Mulyani Indrawati turun maka investor asing akan cabut (pergi – red). Sangat mudah, selain panik di perbankan juga ada panik di bursa saham. Sekarang saja goyang. Jadi itu sama sekali bukan solusi. Orang yang tidak senang kepada Boediono dan Sri Mulyani Indrawati entah apa penyebabnya karena jelas mereka orang bersih, mungkin tidak senang karena dianggap sombong dan terlalu pintar. Kalau tidak senang pun mereka akan rugi sendiri kalau banknya ambruk, kehidupan mereka terganggu.
Jadi nasabah secara tidak langsung justru dirugikan di sini, betulkah?
Persis. Sri Mulyani Indrawati dan Boediono kalaupun diganti tidak akan rugi, ia jadi pahlawan dan mungkin akan jadi pejabat di lembaga internasional, tapi yang rugi adalah rakyat banyak.
Apakah sebetulnya dimungkinkan sebuah kebijakan yang dilahirkan oleh seorang pejabat publik lalu dipidanakan, sampai mana batas-batasnya karena kita melihat ini ada semacam kerancuan?
Menurut ahli yang saya dengar, kebijaksanaan tidak bisa menjadi pidana tapi kalau perampokan jelas bisa. Kalau Jusuf Kalla mengatakan kasus Bank Century merupakan kasus perampokan adalah betul. Yang merampok itu Robert Tantular dan kawan-kawan sehingga banknya jatuh. Mungkin sesudah bailout ada juga yang mengambil uang, tapi itu sekarang akan diselidiki oleh panitia angket. Mudah-mudahan keluar ceritanya. Kalau laporan BPK kurang bisa dipercaya karena banyak kesalahannya dan jelas punya keinginan tertentu.
Kalau kebijaksanaan paling orangnya diganti, jadi Sri Mulyani Indrawati dan Boediono tidak bisa dipidanakan kecuali sistem hukumnya sudah begitu dirusak oleh orang yang mempunyai dendam politik. Dendam politiknya mungkin bukan terhadap Boediono, tapi terhadap kekalahan mereka di Pemilu, dan juga dendam terhadap Sri Mulyani Indrawati yang sangat efektif menghapus orang-orang korupsi di Departemen Keuangan sehingga dia sampai mendapatkan penghargaan anti korupsi Bung Hatta Awards. Kalau orang melakukan pembersihan maka ada yang dibersihkan. Orang itu dipuji karena membersihkan rumahnya dari cecunguk. Semua senang tapi cecunguknya tidak senang. Kalau cecunguknya timbul lagi dalam bentuk yang lebih besar, ia akan dikejar-kejar.
Bagaimana perkembangan Bank Century saat ini, apakah tetap dalam posisi gagal atau ada perkembangan karena media tidak pernah melaporkan hal ini?
Bank Century sudah gagal dari awal merger pada 2003 dan agak dibiarkan sehingga akhirnya ambruk pada November 2008. Dinyatakan dalam perlindungan (bailout) oleh pemerintah diserahkan kepada LPS. Sesudah LPS mengambil alih, bank itu makin sehat. Jadi sekarang, Bank Century adalah bank yang sehat. Ia punya solvabilitas yang tinggi, liquidity yang baik. Bank Century memiliki capital asset ratio (CAR) di atas 8%. Pendeknya, ia bank yang baik. Kalau kondisinya terus seperti itu, maka LPS tidak akan selamanya di situ. Ia akan menjualnya ke pasar bebas yang disebut go public atau kepada pemilik bank lain yang disebut private divestment dan nilainya bisa mencapai lebih dari Rp 6,7 trilyun di masa depan.
Nah, persoalan Rp 6,7 trilyun merupakan angka yang ditangkap begitu saja oleh publik dan dikembangkan menjadi isu yang mengalir ke dana ini dan itu. Bagaimana sebenarnya kasus Rp 6,7 trilyun itu?
Rp 6,7 trilyun itu sebetulnya jumlah yang seharusnya membuat orang bersyukur bahwa bisa dimasukkan ke dalam Bank Century sehingga bisa tetap hidup dan deposannya tidak ada yang menjadi korban.
Jadi bukan uang negara yang dikorbankan di sana?
Bukan, itu akan saya jelaskan tapi akan saya beri catatan kalau bank Century itu tidak diselamatkan maka nasabah yang menyimpan uangnya secara langsung akan kehilangan uangnya. Jumlahnya Rp 5,1 trilyun langsung dan tidak akan bangkit lagi. Sekarang uang yang disuntikkan Rp 6,7 trilyun bukan uang negara, itu adalah uang LPS yang dikumpulkan dari uang premi depositor. Jadi kalau kita buka deposit, kita seperti membeli premi asuransi dan dikumpulkan di LPS. Uang itu dimiliki bank nasional dan sebagian oleh pemerintah.
Jadi kalau BPK mengatakan ada kerugian untuk negara, itu tidak mungkin karena belum selesai ceritanya. Uang Rp 6,7 trilyun masih ada di bank sebagai macam-macam, dan sama sekali tidak hilang. Yang hilang itu adalah uang yang dicuri oleh Robert Tantular dan kawan-kawan sampai Rp 4 trilyun dengan bantuan kiri-kanan.Uang itu yang harus dicari.
Jadi sebetulnya yang harus teriak paling lebih dulu adalah para bankir karena berkepentingan dengan uang Rp 6,7 triliun, betulkah?
Seharusnya yang protes terhadap uang Rp 6,7 triliun seharusnya pemilik uang tersebut yaitu para bankir. Tapi bankir malah senang uang itu dipakai sebab kalau LPS tidak memakai dana itu untuk menyelamatkan Bank Century, bank mereka juga pasti sudah hancur. Begitu menurut mereka. Kemarin saya bertemu Ketua Umum Ikatan Bankir Indonesia (Indonesian Bankers Associations) Agus DW Martowardojo, dan Ketua Umum Perbanas Sigit Pramono. Mereka mengatakan untunglah kita memiliki LPS, jadi bank kita selamat. Begitu melihat krisis, mereka seperti melihat tetangganya di kampung kebakaran, mati kita. Untunglah datang penyelamatan dalam bentuk bailout.
Kalau dilihat dari komunikasi politik kita merespons kasus Bank Century, bagaimana Anda melihat gambaran umumnya?
Saya melihat di sini urusan bank serius, tapi yang lebih serius lagi adalah rakyat kita, teman-teman yang sudah berangsur-angsur pandai dalam berdemokrasi sebetulnya dirugikan akibat kekurangtahuan mereka karena dimanfaatkan oleh orang yang punya kepentingan politik. Bukannya dikasih edukasi publik malah dikasih pembodohan publik. Sama sekali diselewengkan pengertian mengenai bailout, LPS, bank, dan krisis. Dikatakan krisis itu tidak ada, padahal krisis itu ada, tapi terhindari.
Jangan-jangan ketika ada kasus dan sudah diberi peringatan tapi itu tidak tersosialisasikan baik ke publik, sehingga publik mengetahuinya ketika kasus ini meledak?
Pada waktu itu memang saya kira tidak ada kebutuhan besar untuk mensosialisasikan karena semua yang bersangkutan juga tidak ada yang protes. Presiden setuju bahkan ia yang memberikan persetujuan sampai sekarang, bank-bank juga suka, BPK juga setuju, pers internasional memuji.
Setahun kemudian ketika orang politik kehabisan isu, mula-mula gonjang ganjing Pemilu. Kemudian dalam kasus Bibit-Chandra ketemu energi yang besar dipakai secara positif. Warga biasa memanfaatkan facebook, blog sehingga ada energi, lalu publik optimis, "Wah, kita bisa ikut bicara, apalagi isunya." Kemudian dipersoalkan bailout Bank Century. Seharusnya isu yang dikejar di Bank Century adalah mengejar orang yang menjarah uang Bank Century yaitu Robert Tantular yang membuat Bank Century sampai krisis. Saya bisa sebut namanya karena sudah dalam proses peradilan. Kemana uang itu, dibagi dengan siapa, Itu yang lebih riil. Sedangkan bailout sudah disetujui oleh masyarakat dulu. Itu seperti orang sudah lulus sekolah menengah atas (SMA), kemudian ijazahnya diperiksa lagi. Tapi sekarang kekuatan yang lebih besar dari hukum barangkali adalah kepentingan politik yang mencoba menggunakan itu untuk melakukan penggoyangan kabinet ekonomi.
sumber : http://www.perspektifbaru.com/wawancara/
14 Des 2009
No comments:
Post a Comment