Mar 4, 2010

Ketika Hidayah Itu Berawal Dari Kebencian

Rabu 10 Februari, pagi itu kota New York sedang dilanda badai salju. Sejak tengah malam lalu, salju turun tiada henti membuat jalanan menjadi sepi dan licin. Kebanyakan warga memilih tinggal di rumah, berbagai institusi ditutup sementara, termasuk sekolah-sekolah dan bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Saya sendiri cukup malas untuk meninggalkan rumah pagi tadi. Tapi entah apa, rasanya saya tetap terpanggil untuk melangkahkan kaki menuju kantor PTRI, dan selanjutnya ke Islamic Center. Ternyata kantor PTRI juga pagi ini hanya dibuka hingga pukul 12 siang.
Aku pun segera menuju Islamic Cultural Center of New York dengan tujuan sekedar shalat Zhuhur dan Ashar sekalian. Lazimnya, ketika ada badai salju atau hujan lebat, jamaah meminta untuk menjamak' shalat. Setiba di Islamic Center saya segera menuju ruang shalat, selain untuk melihat apakah pemanas ruangan telah dinyalakan atau belum, juga untuk shalat sunnah.
Tiba-tiba saja Sekretaris memanggil, 'Some one is waiting for you!'. 'Let me do my sunnah and will be there!', jawabku.
Setelah shalat sunnah, segera saya menuju ke ruang perkantoran Islamic Center. Di ruang tamu sudah ada seseorang yang relatif berumur, tapi nampak elegan dalam berpakaian. 'Hi, good morning!', sapaku. 'Good morning!', jawabnya dengan sangat sopan dan ramah. 'Waiting for me?', tanyaku sambil menjabat tangan. 'Yes, and I am sorry to bother you at this early time', katanya sambil tersenyum.
Saya mengajak pria berkulit putih tersebut ke ruangan kantor saya. Dengan berbasa-basi saya katakan 'wah mudah-mudahan Anda diberikan pahala atas perjuangan mengunjungi Islamic Center dalam suasana cuaca seperti ini'. 'Oh not at all!. We used to this kind of weather', jawabnya.
'So, what I can do for you this morning', tanyaku memulai pembicaraan. Tanpa saya sadari orang tersebut masih berdiri di depan pintu. Barangkali dia tidak ingin lancang duduk tanpa dipersilakan. Memang dia nampak sopan, tapi dari kata-katanya dapat dipahami bahwa dia cukup terdidik. 'Please do have your sit!', kataku. 'Thanks sir!', jawabnya singkat.
Setelah duduk saya ulangi lagi, pertanyaan sebelumnya 'what I can do for you this morning?'. 'Sambil membalik posisi duduknya, dia melihat ke saya dengan sedikit serius, tapi tetap dengan senyumnya. 'I am here for....', seolah terhenti..'for some clarifications!', jawabnya. 'I have been reading, I have observed, even I have learned about the religion, and to be honest I know about it a great deal!', jelasnya.
'That's great!', selaku. Tiba-tiba dia memotong 'But I don't know, from time to time, I feel my suspicion about it and about the Muslims grows'. Dia terdiam sejenak lalu menyambung 'I kind of don't believe what I know about it!',. 'What do you mean?', tanyaku singkat.
Sekali lagi sang pria tersebut merubah posisi duduknya lalu bercerita. 'I used to be very angry...I really hated this religion!', jelasnya. 'In last many years, if it is in my hand I would have crashed it and its followers. I felt the religion and those who follow it invaded my country!, jelasnya dengan sangat serius. 'And so, what happened?', pancingku. Kini dia kembali tersenyum, lalu menyambung ceritanya.
Untuk singkatnya, saya menuliskan beberapa catatan ceritanya, bagaimana kebencian nya kepada agama Islam menjadi awal 'kehausan' untuk mencari tahu. Suatu hari dia membeli makanan di pinggir jalan (Halal Food) di kota Manhattan. Perlu diketahui, mayoritas mereka yang jual makanan di pinggir jalan di kota New York adalah Muslim. Lalu menurutnya, di gerobak penjual makanan itu tertulis 'Laa ilaaha illa Allah-Muhammad Rasul Allah' dalam bahasa Arab. Kebencian nya yang sangat kepada Islam membuatnya tidak bisa menahan diri untuk mengata-ngatai penjual makanan itu 'don't turn people away from buying your food with that....(bad word)', katanya sinis!.
Tapi menurutnya lagi, sang penjual itu tidak menjawab dan hanya tersenyum, bahkan merespon dengan 'Thank you for coming my friend!'.
Singkatnya, menurut dia lagi, sikap penjual makanan itu selalu teringat di pikirannya. Bahkan sikap itu menjadikannya merasa bersalah, tapi pantang untuk datang meminta maaf. Ke tidak inginnya meminta maaf itu, katanya sekali lagi, karena kebencian nya kepada agama ini. 'That really made me angry to my self, but really curious at the same time!', sambungnya.
'In the beginning, I was just googling some informations about the religion. Then listening to some lectures on Youtube (especially Hamzah Yusuf's ones)', ceritanya. Setelah itu kemudian membeli beberapa buku karangan non Muslims, termasuk sejarah Rasul oleh Karen Amstrong, Shari'ah oleh John Esposito, dll.
'The more I learned, the more I feel being suspicious and confused!', heran nya. Saya kemudian memotong 'Had you ever thought, why is that?'. 'I don't know, but I think media factors!', jawabnya singkat. Tapi kemudian segera menyambung bahwa setiap kali dia melihat pemboman, pembunuhan, pengrusakan, dan bahkan beberapa aksi films, ada-ada saja Muslim yang terkait. 'I really don't know and confused, what kind of Islam these people are practicing?'.
Dia kembali berbicara panjang, seolah menyampaikan ceramah kepada saya tentang 'jurang besar' antara ilmu tentang Islam yang dia pahami dan berbagai perangai yang dia lihat dari beberapa Muslim selama ini. Di satu sisi, dia kagum dengan sikap penjual makanan tadi. Tapi di satu sisi, dia marah dengan sikap beberapa orang Islam yang justru... selengkapnya

Ada Baiknya Dibaca



No comments:

Post a Comment